Selamat Datang

... di situs resmi Kongregasi Bruder St. Aloysius

Minggu, 23 Februari 2014

Ciri Konstitutif Panggilan Bruder CSA

Ciri Konstitutif Panggilan Bruder CSA
Oleh: YR Widada Prayitna*

(Artikel pindahan dari website lama)

Ciri konstitutif adalah ciri yang menentukan keberadaan kongregasi Bruder CSA. Artinya, kongregasi tanpa ciri tersebut, pasti bukan bruder CSA.  Dengan kata lain, menemukan cirri konstitutif Panggilan Bruder CSA adalah menemukan jawaban atas pertanyaan: apa itu panggilan khas Bruder CSA?
Untuk menjawab pertanyaan ini pertama-tama kita harus kembali ke Riwayat dan semangat pendiri CSA, yakni Pater Willem Helemons, OCSO. Kemudian kita juga harus menelusuri bagaimana semangat pendiri itu ditafsirkan sepanjang sejarah hidup karya para bruder CSA ini.
Kontemplasi dalam aksi
Kontemplasi dalam aksi (contemplativus in actione) sebenarnya adalah semangatnya para Yesuit. St Ignatius Loyola, mendirikan ordo Yesuit, sebagai ordo kontemplatif tetapi aktif berkarya di tengah dunia.  Karena itu kontemplasi Yesuit adalah kontemplasi dalam aksi. Semangat yang sama  itu pula yang dihayati oleh Pater Willem Hellemons, pendiri kongregasi Bruder-bruder CSA.
Mengapa Romo Hellemons terkesan dan menghayati semangat kontemplasi dalam aksi? Sebagai seorang trapis, Rm Hellemons telah terbiasa dengan doa kontemplasi. Tetapi penugasannya sebagai pastor paroki Oudenbosch, menuntutnya untuk berkontemplasi dalam aksi. Pendidikan seminarinya dijalaninya di Roma. Di Roma beliau mengenal SY lebih dekat lagi. Beliau mengenal cara dan kisah hidup seorang SY yang meninggal ketika masih frater, dan kemudian diangkat menjadi santo. Frater tersebut adalah Aloysius Gonzaga. Demikian sehingga nama Aloysius inilah yang dipakai untuk menamai kongregasi Bruder yang didirikannya : Congregasi St. Aloysius. Dari nama yang sama, kita tahu bahwa para bruder CSA mendirikan asrama, sekolah terkenal, baik di Belanda maupun di Indonesia (Bandung, Surapaya) : St Louis.
Kecuali nama Aloysius, atau St Louis, Romo Hellemons sebenarnya juga memperjuangkan Konstitusi CSA yang bergaya Yesuit. Perjuangan ini membawa akibat konflik dengan uskupnya. Dapat diduga bahwa yang menjadi alasan konflik  bukanlah masalah ‘gaya’, melainkan masalah keyakinan dan penghayatan pribadi akan semangat Ignatiannya. Demikian pun ketika tahun 1838 beliau mendirikan semacam “kongregasi Maria”. Ini semacam perkumpulan anak-anak laki-laki menurut yang dipakai di paroki-paroki Yesuit. [1]
Semua itu barulah yang tersurat alias terlihat secara kasat mripat. Lebih dari itu ternyata ada yang tersirat yang beliau buat. Semangat kontemplasi dalam aksi ini benar-benar dihayati dalam hidup dan karya-karyanya. Seperti misalnya ketika memilih anak-anak
muda yang ‘boleh’ dididik di asrama yang didirikannya. Kriteriumnya adalah mereka yang berasal dari kelas menengah ke atas. Tujuannya jelas, biar dampaknya nyata. Mudah menjadi dicontoh bagi orang lain. Yang dididik di asrama St Louis nantinya haruslah berdaya pengaruh tinggi di tengah masyarakat. Ini adalah semangat dan gaya Yesuit berkarya. Mereka  dekat dengan para bangsawan dan pemimpin atau pemegang kekuasaan. Sebab dalam memilih karya, Yesuit memilih karya yang punya dampak besar, yang punya multiplying effect tinggi.  
Pilihan karya demikian tak boleh dikatakan hanya didasarkan pada pemikiran semata. Pilihan model demikian haruslah merupakan hasil dari doa mendalam, yakni lewat kontemplasi. Bagi  Rm Hellemons kontemplasinya pun dijalaninya dalam aksi. Itulah sebabnya kita membaca kisah bahwa Rm Hellemons mengubah dari sekolah Minggu menjadi asrama; dan anak-anak yang diterima di asrama adalah mereka yang berasal dari keluarga kelas menengah. Demikian pun ketika asrama menjadi lebih besar, dan Rm Hellemons mengubahnya lagi menjadi sekolah dan asrama, bernama Institut St. Louis. Perubahan dan pilihan semacam ini hanya mungkin terjadi atas dasar suatu kontemplasi dalam aksi  (baca: karya), yang dilakukan oleh Rm Hellemons. [2]

Buah kontemplasi
Ketika pater Hellemons ditugaskan jadi pastor di Oudenbosch kontemplasinya berbuah

konkret dan nyata. Beliau melihat dalam kontemplasinya bahwa orang-orang muda di sana, dan Belanda pada umumnya harus diselamatkan dari ancaman jaman kala itu. Mereka terancam menjadi kurban amoral, asusila, sebagai konsekuensi dari situasi perang waktu itu. Demikian pendidikan model asrama adalah buah-buah kontemplasi dalam aksinya.

Ketika Romo Hellemons bertemu dengan seorang pemuda Johannes Huybrechts,[3]
yang kebingungan menemukan jalan panggilannya, beliau pula yang ber-aksi. Suatu aksi yang kemudian terbukti menjawab panggilan ilahi, bahkan sampai hari ini, tak mungkin tidak adalah buah kontemplasi. Barangkali lahirnya kongregasi CSA ini adalah buah kontemplasinya yang paling besar.
Contoh lain adalah  ketika pater Hellemons mengirim 4 orang bruder nya ke Indonesia. Keputusan demikian hanya mungkin kita pahami berdasarkan kacamata ini: kontemplasi dalam aksi. Pater Hellemons, 150 tahun lalu, pasti sudah lebih dulu berkontemplasi akan panggilan Tuhan di tanah missi Indonesia, sebelum mengambil keputusan visioner dan missioner tersebut. Hal itu tidak hanya tampak dalam ‘kenekatan’ untuk menempatkan  kebutuhan akan bruder di dalam negeri Belanda, di bawah panggilan Tuhan ke tanah misi di Indonesia.  Bukti lebih kuat adalah kenyataan bahwa sekarang ini, 1,5 abat kemudian, para bruder Indonesialah yang praktis memimpin para bruder CSA di seluruh dunia. Keputusan visioner semacam itu, tak bisa tidak harus dikatakan sebagai buah dari sebuah kontemplasi. Keputusan yang tak tergoyahkan, karena dasarnya adalah keyakinan iman. Yakin akan panggilan atau kehendak Tuhan, Keyakinan demikian hanya mungkin diperoleh melalui  kontemplasi. Dari kontemplasi dalam aksi ini pula pater Hellemons membangun spiritualitasnya. «Spiritualitasnya dibangun dari dan berdasaran situasi konkret, dari kebutuhan orang, kebutuhan kaum muda, kebutuhan umat, yang dilihatnya sebagai kebutuhan Tuhan sendiri. Sebab Tuhan hadir di dalam sesama!! » [4]
Dalam hidup sehari-hari pater Hellemons, buah-buah kontemplasi tersebut nampak dalam semangat dan nilai-nilai yang diperjuangkannya, seperti berikut ini:
  1. Pater Hellemons, melihat apa yang tak terlihat di lingkungan/karyanya. Beliau senantiasa mencari dan menemukan yang di belakang layar: yang tersirat, lebih dari yang tersurat. Ini adalah daya/kekuatan  visioner, visi kenabian yang tak lain adalah buah-buah kontemplasi.
  2. Pater Hellemons menggunakan cara pendekatan, dari mata sampai ke hati.  Personal. Touching, inspiring, inner motivation
  3. Keterlibatan pater Hellemons pada kaum muda pastilah berasal dari kontemplasinya atas masyarakat dan jaman kala itu.
  4. Dalam semua itu, tak dapat diragukan lagi bahwa pater Hellemons orangnya percaya penuh upaya. Ia percaya pada Allah, tapi tetap membanting tulang, sampai menyerah pada rencana dan kehendakNya. Beliau percaya bahwa  Tuhanlah yang  menentukan.

Dalam karya-karya yang dipilih oleh Pendiri kongregasi Bruder CSA, ciri-ciri berikut mencolok sekali:
  1. Memperhatikan kesejahteraan hidup umatnya: Umat, masyarakat, lingkungan?
  2. Berciri gerakan: kepekaan sosial: orang miskin, orang sakit, anak yatim, bidang pendidikan Gerakan pemulihan/pengembangan iman Katolik (waktu itu, iman Kristen Protestan mendominasi)
  3. Konsern pada tatanan sosial kemasyarakatan (Belanda waktu itu kurang tertib)
  4. Kreatif dan inovatif menjawab tantangan (waktu itu mendirikan sekolah Minggu, Institut St Louis, mengirim 4 bruder pertamanya ke tanah missi.
  5. Sekaligus bersemangat dinamis, luwes, kèwes, mentes.
  6. Pelayanan demi umat, bukan tergantung tempat. Kelompok kategorial, keluar dari teritorial Ini terjadi ketika Institut St Louis didirikan.
  7. Ciri karya yang memberdayakan umat (Yohanes Huijbrechts) calon guru itu diangkat jadi ‘guru iman’, pemimpin rombongan guru2 yg bernama CSA. Bahasa sekarang: memberdayakan potensi Yohanes Huijbrechts dan teman-temannya.


Dalam bahasa sekarang, ciri-ciri di atas sering disebut dengan istilah entrepreneurship: punya mimpi, punya visi ke depan, punya keyakinan pribadi, penuh inovasi dan kreasi, penuh semangat, berani ambil resiko. Dan hasilnya memberi nilai tambah pada sesama dan dunianya. Itulah yang dibuat pater Hellemons, pendiri CSA. 

Kontemplasi, kini dan nanti
Ketika para bruder CSA masuk Indonesia tentu paling mudah adalah membawa buah-buah kontemplasi asli pendiri kongregasi ke Indonesia. Pada jaman itu, bentuk dan model karya misinya masih dapat dijalankan dengan buah yang memuaskan. Namun, setiap jaman punya panggilannya sendiri. Artinya supaya buah-buah kontemplasi sungguh bermanfaat, kontemplasi harus senantiasa diperbaharui, alias dilakukan terus-menerus. Singkatnya, untuk jaman ini pun kontemplasi itu harus dilakukan lagi dan lagi.
Secara sederhana kontemplasi dapat dijelaskan demikian. Comtemplasi, adalah metode doa, yang dalam Latihan Rohani St Ignatius Loyola, disebut sebagai cara berdoa paling tinggi. Berkontemplasi berarti menempatkan diri ‘di samping’ Tuhan. Dalam doa itu ia menempatkan diri di samping Tuhan, hadir di sana, merasakan, memikirkan, memandang  dunia, ‘bersama Tuhan’ melakukannya. Kira-kira Tuhan akan melakukan apa untuk masa kini dan nanti, ketika melihat bentangan dan tantangan dunia karya di depan kita? Sesuai dengan ini, berarti para bruder CSA harus berkontemplasi untuk menemukan panggilan Tuhan di jaman ini. Secara reflektif para bruder harus bertanya, adakah karya-karya yang sekarang masih dan sedang ditangani oleh kongregasi CSA masih merupakan jawaban atas panggilanNya. Secara proyektif, para bruder harus berkontemplasi untuk menemukan vision ke depan nanti. Apa proyeksi karya yang diyakini menjawb panggilanNya mengingat keadaan jaman dan dunia kini dan nanti?

Berlayar ke tempat yang lebih ‘dalam’

Tahun ini kongregasi Bruder CSA memperingati 150 tahun berkarya di Indonesia. Tema yang diangkat adalah berlayar ke tempat yang lebih dalam. Tema ini bagi saya mengandung konotasi bahwa tidak berlayar untuk mencari nyaman, tetapi justru siap menantang dunia. Sebab laut yang lebih dalam, kecuali menjanjikan (perolehan tangkapan) ikan-ikan besar, juga membawa konsekuensi bahaya dan resiko yang lebih besar pula. Pertanyaannya adalah seberapa besar kesiapan para bruder dalam mengarungi perjalanan karya yang lebih ‘dalam’ ini? Dalam bahasa awam, jawaban atas pertanyaan ini menuntut suatu kontemplasi mendalam dari seluruh kongregasi. Kontemplasi yang menyangkut beberapa hal berikut:
Perubahan mindset
Kalau kita biasa berlayar di laut dangkal dan kita memutuskan untuk berlayar di laut dalam, mindset kita harus berubah. Gelombang besar dapat saja membalikkan kapal kita. Ikan besar dapat menyeret kail kita, tanpa dapat kita kendalikan. Perubahan alat atau sarana kita gunakan adalah sine qua non, mutlak perlu.  Dalam melayari laut yang lebih dalam, tak mungkin kita hanya mengandalkan kekuatan alam semata. Kemampuan nahkoda dalam mengendalikan kemudi juga berbeda. Pendeknya, persepsi kita tentang diri kita maupun medan karya kita juga harus berubah. Lebih dari itu, mindset kita harus diubah. Itu artinya, kita mesti melakukan kontemplasi lagi. Kita berdoa bersama Tuhan, dan bertanya, kira-kira apa yang dipikirkan, dirasakan dan akan dilakukanNya di medan karya kita kini dan nanti, saat ‘lautan menjadi lebih dalam’ menjadi kenyataan?  Dalam hal ini kita bisa belajar dari Pater Hellemons ketika dulu memutuskan untuk mengirim 4 orang misionarisnya ke negeri kita Indonesia.
Pandangan dunia. 
Persepsi kita tentang dunia pun juga harus diubah. Dunia modern menawarkan banyak pilihan, dan janji kenyamanan. Bagaimana kita, para bruder CSA mau bersikap di tengah dunia sekarang ini. Pater Hellemons justru melawan arus dunia saat itu.  Dunia yang penuh Yansenisme, dilawannya dengan gerakan dari dalam hati dan budi para muda waktu itu. Artinya bagi  kita: mari kita  berkontemplasi.
Seandainya saya boleh  berkontemplasi bersama kongregasi CSA, maka dunia dan panggilan  CSA di jaman ini akan terlihat  seperti berikut ini:
Dunia kita adalah dunia pasar bebas. Dunia yang ditentukan oleh kebutuhan pasar. Segala sesuatu, termasuk hidup manusia ditentukan oleh kebutuhan pasar. Orang tanpa sadar mengikuti saja gerak dan arus dunia. Manusia tidak sanggup, bahkan tidak merasa perlu lagi, untuk punya prinsip sendiri, punya nilai kemandirian. Demikian sehingga orang mulai bingung dengan karakter khas manusia. Sebab manusia seakan kehilangan karakternya.  Karena itu pula, pendidikan karakter dianggap sebagai jawab atas kehilangan jati diri manusia. Padahal sebenarnya ini bukan masalah isi, melainkan masalah cara atau metode pendidikan.  Selama sistem pendidikan masih berfokus pada pendidikan intelektual, maka isinya apa pun hanya akan jatuh pada perkara normatif dan kognitif belaka. Dunia pendidikan perlu pembaharuan metode dan sistem. Pembaruan sistem yang  partisipatif dan eksperientatif. Untuk ini yang paling cocok adalah melalui pendidikan entrepreneuship. Kalau ini tak menggantikan, minimal melengkapi sistem yang ada sekarang ini.
Khusus di Indonesia, dunia yang lebih menantang dan mengundang ternyata letaknya ada di bagian timur negeri ini. Maka kalau para bruder CSA mau berkontemplasi, yang paling tepat adalah mengkontemplasikan dunia di Indonesia timur, NTT misalnya. Dalam pandangan saya, bumi NTT sesungguhnya subur, tetapi relatif masih nganggur. Masyarakatnya masih belum mampu mengolah kesuburan tanah. Akibatnya mereka kini  tergantung pada hasil bumi dari luar NTT.  Daripada mengolah bumi negeri sendiri, lebih baik pergi ke luar NTT, bahkan ke luar negeri buat mengejar ringgit atau duit.

Fokus pilihan: orang muda.
Dari awal berdirinya, kontemplasi pendiri dan para mengikutnya, membuahkan fokus pilihan karya pada orang muda. Orang muda yang waktu itu jadi kurban situasi perang. Perang antara negara ataupun perang antar keyakinan agama. Orang muda mengalami kemerosotan moral dan iman. Itulah yang melahirkan karya pendidikan asrama orang muda. Di jaman ini, orang muda masih tetap jadi kurban. Kurban atas kemajuan jaman dan kemunduran nilai kemanusiaan. Di NTT, bahkan pendidikan orang muda pun masih sungguh memprihatinkan. Di Gereja pun pelayanan dan pendampingan pada kaum muda masih terhenti pada konsep formal dan normatif belaka. Ada begitu banyak orang muda yang dibiarkan saja hidup tanpa pendampingan, kadang tanpa tujuan.
Menggerakan perubahan dunia, paling mudah adalah melalui orang-orang muda. Mereka masih punya idealisme tinggi. Energi mereka besar. Mereka punya nafsu belajar tinggi. Di sini lain, selama ini kebanyakan orang muda, menjadi kurban cinta dari kaum tua. Mereka biasanya ditempatkan sebagai penonton, bukan partisipan. Malah ada yang hanya jadi obyek dan kurang diperlakukan sebagai subyek.
Orang muda sekarang juga telah terhipnotis pada tawaran dunia yang hedonistis.
Akibatnya, mereka kurang sadar akan panggilan jamannya. Dengan pendidikan entrepreneur, diharapkan orang-orang muda dapat membaharui dunia dan memberi nilai tambah pada tata kehidupan manusia. Tambahan pula, di NTT, tingkat pendidikan pada umumnya masih belum maju.
Jalur pendidikan formal, terutama di Jawa sebenarnya sudah relatif dapat diandalkan. Tetapi yang terkandung dengan pendidikan formal adalah pendidikan satu dimensi: dimensi intelektual. Itu pun dalam prakteknya berarti menghafal, bukan mengerti dan memahaminya. Dimensi finansial yang menentukan sebagian besar kehidupan manusia justru belum disentuh sama sekali. Kalau ada jalur pendidikan nonformal, itu pun masih sangat terbatas. Jadi, dalam kontemplasi jaman ini jelas kiranya kalau panggilan atau undangan karya CSA itu tetap fokus pada kaum muda. Itupun bukan lewat jalur pendidikan formal, melainkan melalui jalur pendidikan nonformal. Di sana dimensi finansial dapat diangkat dan digarap melalui pendidikan semangat entrepreneurship. Dilihat dari segi kemendesakan, di wilayah Indonesia bagian Timur, kebutuhan akan hadir dan peran serta para Bruder CSA kok terasa lebih jelas. Sebab yang peduli pada orang muda di  sana boleh dikata tidak banyak. Kalau pun ada lebih menyiapkan orang muda untuk menjadi ‘pegawai’ kalau bukan ‘buruh’ para pemodal di luar NTT. Jarang, atau malah mungkin belum ada yang menyiapkan orang muda menjadi ‘majikan’ pemilik pegawai. Di sinilah perlunya orang muda digembleng dengan semangat entrepreneurship.

Metode asrama
Kalau dulu pater Hellemons mengembangkan bentuk pelayanan kaum muda bergerak dari « sekolah Minggu » ke « asrama », dan akhirnya ke « sekolah dan asrama » kita di Indonesia, khususnya NTT dapat meneladan sikapnya. Artinya bukan meniru begitu saja, sebab situasi, dunia dan manusianya berbeda. Memiliki sekolah dan asrama adalah pilihan turunan dari aslinya. Sekarang pilihan itu sebaiknya direfleksi kembali, kalau tak mau direvisi. Saya cenderung memilih fokus saja pada asrama. Sebab punya sekolah dan asrama mengandaikan memiliki tenaga berkualitas, fasilitas yang memadai, dan untuk itu perlu biaya besar. Bukan karena kekurangan tenaga kalau tak mau memilih jalur sekolah. Tetapi pendidikan sekolah sudah dikelola dengan baik, bahkan lebih baik oleh dunia. Kalau CSA tidak punya kelebihan istimewa dalam menangani sekolah sebaiknya fokus di luar sekolah. Sebab di luar sekolah belum banyak yang peduli. Di luar sekolah belum dianggap sebagai strategis dalam sistem pendidikan yang ada sekarang ini. Sementara sistem asrama, jika diseriusi, dapat dijadikan sarana terbaik untuk membentuk karakter yang siap untuk mandiri. Sebab setelah pendidikan intelektual di ruang kelas (formal) pembimbing asrama masih punya kesempatan banyak untuk mendidik orang muda ini dengan pelatihan dan pembentukan karakter yang mendukung kemandirian orang muda tersebut. Asrama adalah tempat untuk berlatih dan mengalami sendiri. Asrama tidak hanya memberi tekanan pada kognitif, tetapi justru dalam internalisasinya. Jika ini yang jadi mimpinya, maka asrama mesti dipikirkan dan dikelola secara profesional, visioner dan misioner.
Di dalam sistem pendidikan asrama lah orang muda dikenalkan nilai-nilai kemanusiaan
dan pembentukan karakter entrepreneur yang mengandung prasyarat : kemandirian. Jika ini dapat menjadi sumbangan khas para Bruder CSA di Indonesia, maka meskipun jumlah yang dididik tidak masal, namun peran dan sumbangannya bagi masyarakat dan Gereja akan sungguh berdampak. Lebih baik kecil tetapi unik, dan memberi sumbangan khas, daripada ikut-ikutan arus, lantas sumbangannya tak kelihatan dan kurang bermakna.  
Di mana-mana, bruder CSA dikenal sebagai pendidik karakter, melalui sistem pendikan asramanya. Itulah mimpi yang dapat dimaknai sebgai buah-buah kontemplasi jaman ini. Dalam situasi dimana mendidikan asrama tak mungkin diwujudkan, dapat dicari bentuk pendampingan alternatif, non formal, namun secara karakter berkualitas.
Kalau itu yang dilakukan para bruder CSA Indonesaia jaman ini, maka ciri konstitutif para bruder CSA menjadi nyata kembali di jaman ini. Jika ini pula yang merupakan buah-buah kontemplasi kongregasi, maka tak perlu ragu lagi untuk menfokuskan diri dalam karya asrama ini. Lahan ini masih terbuka lebar, sebab belum banyak yang melihat dan mengambilnya sebagai sarana bernilai untuk pembentukan karakter manusia.
Selamat Pesta 150 Tahun Berkarya Di Indonesia !

Dulu ada St Louis, di Belanda maupun di Indonesia,
Dan orang muda disapa dan diangkat drajatnya
Kini ada orang muda, di Jawa maupun di Flores sana
Semua memanggil-manggil hati dan budimu untuk mereka.
Nanti ada yang mengalami buah karyamu mengubah hidup mereka
Dan orang-orang yang sungguh mandiri karena andil darimu
Para bruder pencinta, pembela dan inspirasi jiwa mudaku.

Semarang,
Pada hari pesta St Matias, Rasul
14 Mei 2012


*) Penulis adalah Direktur Wulangreh Foundation, bertempat tinggal di Banyumanik, Semarang


[1] Joos P.A van Vugt: Bruder-bruder dan karya mereka, Kanisius 2005, hal 43
[2] Ibid, hal 45-46
[3] Perjumpaan dengan pemuda Johannes ini adalah pemicu lahirnya kongregasi CSA. Johannes adalah bruder CSA pertama.
[4] Seperti dituliskan oleh Br Heri CSA, dalam Nilai-nilai Pendiri. 

3 komentar: