Ciri Konstitutif Panggilan Bruder CSA
Oleh: YR Widada Prayitna*
(Artikel pindahan dari website lama)
(Artikel pindahan dari website lama)
Ciri konstitutif adalah ciri yang menentukan keberadaan kongregasi Bruder
CSA. Artinya, kongregasi tanpa ciri tersebut, pasti bukan bruder CSA. Dengan kata lain, menemukan cirri konstitutif
Panggilan Bruder CSA adalah menemukan jawaban atas pertanyaan: apa itu panggilan khas Bruder CSA?
Untuk menjawab pertanyaan ini pertama-tama kita harus kembali ke Riwayat
dan semangat pendiri CSA, yakni Pater Willem
Helemons, OCSO. Kemudian kita juga harus menelusuri bagaimana semangat
pendiri itu ditafsirkan sepanjang sejarah hidup karya para bruder CSA ini.
Kontemplasi dalam aksi
Kontemplasi dalam aksi (contemplativus
in actione) sebenarnya adalah semangatnya para Yesuit. St Ignatius Loyola,
mendirikan ordo Yesuit, sebagai ordo kontemplatif tetapi aktif berkarya di
tengah dunia. Karena itu kontemplasi
Yesuit adalah kontemplasi dalam aksi. Semangat yang sama itu pula yang dihayati oleh Pater Willem
Hellemons, pendiri kongregasi Bruder-bruder CSA.
Mengapa Romo Hellemons terkesan dan menghayati semangat kontemplasi dalam aksi?
Sebagai seorang trapis, Rm Hellemons telah terbiasa dengan doa kontemplasi.
Tetapi penugasannya sebagai pastor paroki Oudenbosch, menuntutnya untuk
berkontemplasi dalam aksi. Pendidikan seminarinya dijalaninya di Roma. Di Roma
beliau mengenal SY lebih dekat lagi. Beliau mengenal cara dan kisah hidup
seorang SY yang meninggal ketika masih frater, dan kemudian diangkat menjadi
santo. Frater tersebut adalah Aloysius Gonzaga. Demikian sehingga nama Aloysius
inilah yang dipakai untuk menamai kongregasi Bruder yang didirikannya : Congregasi St. Aloysius. Dari nama yang
sama, kita tahu bahwa para bruder CSA mendirikan asrama, sekolah terkenal, baik
di Belanda maupun di Indonesia (Bandung, Surapaya) : St Louis.
Kecuali nama Aloysius, atau St Louis, Romo Hellemons sebenarnya juga
memperjuangkan Konstitusi CSA yang bergaya Yesuit. Perjuangan ini membawa
akibat konflik dengan uskupnya. Dapat diduga bahwa yang menjadi alasan
konflik bukanlah masalah ‘gaya’,
melainkan masalah keyakinan dan penghayatan pribadi akan semangat Ignatiannya.
Demikian pun ketika tahun 1838 beliau mendirikan semacam “kongregasi Maria”.
Ini semacam perkumpulan anak-anak laki-laki menurut yang dipakai di
paroki-paroki Yesuit. [1]
Semua itu barulah yang tersurat alias terlihat secara kasat mripat. Lebih dari itu ternyata ada yang tersirat yang beliau
buat. Semangat kontemplasi dalam aksi
ini benar-benar dihayati dalam hidup dan karya-karyanya. Seperti misalnya
ketika memilih anak-anak
muda yang ‘boleh’ dididik di asrama yang didirikannya.
Kriteriumnya adalah mereka yang berasal dari kelas
menengah ke atas. Tujuannya jelas, biar dampaknya nyata. Mudah menjadi dicontoh
bagi orang lain. Yang dididik di asrama St Louis nantinya haruslah berdaya
pengaruh tinggi di tengah masyarakat. Ini adalah semangat dan gaya Yesuit
berkarya. Mereka dekat dengan para
bangsawan dan pemimpin atau pemegang kekuasaan. Sebab dalam memilih karya,
Yesuit memilih karya yang punya dampak besar, yang punya multiplying effect tinggi.
Pilihan karya demikian tak boleh dikatakan hanya didasarkan pada pemikiran
semata. Pilihan model demikian haruslah merupakan hasil dari doa mendalam,
yakni lewat kontemplasi. Bagi Rm
Hellemons kontemplasinya pun dijalaninya dalam aksi. Itulah sebabnya kita
membaca kisah bahwa Rm Hellemons mengubah dari sekolah Minggu menjadi asrama;
dan anak-anak yang diterima di asrama adalah mereka yang berasal dari keluarga kelas
menengah. Demikian pun ketika asrama menjadi lebih besar, dan Rm Hellemons
mengubahnya lagi menjadi sekolah dan asrama, bernama Institut St. Louis. Perubahan
dan pilihan semacam ini hanya mungkin terjadi atas dasar suatu kontemplasi
dalam aksi (baca: karya), yang dilakukan
oleh Rm Hellemons. [2]
Buah kontemplasi
Ketika
pater Hellemons ditugaskan jadi pastor di Oudenbosch kontemplasinya berbuah
konkret
dan nyata. Beliau melihat dalam kontemplasinya bahwa orang-orang muda di sana,
dan Belanda pada umumnya harus diselamatkan dari ancaman jaman kala itu. Mereka
terancam menjadi kurban amoral, asusila, sebagai konsekuensi dari situasi
perang waktu itu. Demikian pendidikan model asrama adalah buah-buah kontemplasi
dalam aksinya.
Ketika
Romo Hellemons bertemu dengan seorang pemuda Johannes Huybrechts,[3]
yang
kebingungan menemukan jalan panggilannya, beliau pula yang ber-aksi. Suatu aksi
yang kemudian terbukti menjawab panggilan ilahi, bahkan sampai hari ini, tak
mungkin tidak adalah buah kontemplasi. Barangkali lahirnya kongregasi CSA ini
adalah buah kontemplasinya yang paling besar.
Contoh
lain adalah ketika pater Hellemons mengirim
4 orang bruder nya ke Indonesia. Keputusan demikian hanya mungkin kita pahami
berdasarkan kacamata ini: kontemplasi
dalam aksi. Pater Hellemons, 150 tahun lalu, pasti sudah lebih dulu
berkontemplasi akan panggilan Tuhan di tanah missi Indonesia, sebelum mengambil
keputusan visioner dan missioner tersebut. Hal itu tidak hanya tampak dalam
‘kenekatan’ untuk menempatkan kebutuhan
akan bruder di dalam negeri Belanda, di bawah panggilan Tuhan ke tanah misi di
Indonesia. Bukti lebih kuat adalah
kenyataan bahwa sekarang ini, 1,5 abat kemudian, para bruder Indonesialah yang
praktis memimpin para bruder CSA di seluruh dunia. Keputusan visioner semacam
itu, tak bisa tidak harus dikatakan sebagai buah dari sebuah kontemplasi. Keputusan
yang tak tergoyahkan, karena dasarnya adalah keyakinan iman. Yakin akan
panggilan atau kehendak Tuhan, Keyakinan demikian hanya mungkin diperoleh
melalui kontemplasi. Dari kontemplasi dalam aksi ini pula pater Hellemons
membangun spiritualitasnya. «Spiritualitasnya dibangun dari dan berdasaran situasi
konkret, dari kebutuhan orang, kebutuhan kaum muda, kebutuhan umat, yang
dilihatnya sebagai kebutuhan Tuhan sendiri. Sebab Tuhan hadir di dalam sesama!! »
[4]
Dalam hidup sehari-hari pater Hellemons, buah-buah kontemplasi tersebut
nampak dalam semangat dan nilai-nilai yang diperjuangkannya, seperti berikut
ini:
- Pater Hellemons, melihat apa yang tak terlihat di lingkungan/karyanya. Beliau senantiasa mencari dan menemukan yang di belakang layar: yang tersirat, lebih dari yang tersurat. Ini adalah daya/kekuatan visioner, visi kenabian yang tak lain adalah buah-buah kontemplasi.
- Pater Hellemons menggunakan cara pendekatan, dari mata sampai ke hati. Personal. Touching, inspiring, inner motivation
- Keterlibatan pater Hellemons pada kaum muda pastilah berasal dari kontemplasinya atas masyarakat dan jaman kala itu.
- Dalam semua itu, tak dapat diragukan lagi bahwa pater Hellemons orangnya percaya penuh upaya. Ia percaya pada Allah, tapi tetap membanting tulang, sampai menyerah pada rencana dan kehendakNya. Beliau percaya bahwa Tuhanlah yang menentukan.
Dalam karya-karya
yang dipilih oleh Pendiri kongregasi Bruder CSA, ciri-ciri berikut mencolok
sekali:
- Memperhatikan kesejahteraan hidup umatnya: Umat, masyarakat, lingkungan?
- Berciri gerakan: kepekaan sosial: orang miskin, orang sakit, anak yatim, bidang pendidikan Gerakan pemulihan/pengembangan iman Katolik (waktu itu, iman Kristen Protestan mendominasi)
- Konsern pada tatanan sosial kemasyarakatan (Belanda waktu itu kurang tertib)
- Kreatif dan inovatif menjawab tantangan (waktu itu mendirikan sekolah Minggu, Institut St Louis, mengirim 4 bruder pertamanya ke tanah missi.
- Sekaligus bersemangat dinamis, luwes, kèwes, mentes.
- Pelayanan demi umat, bukan tergantung tempat. Kelompok kategorial, keluar dari teritorial Ini terjadi ketika Institut St Louis didirikan.
- Ciri karya yang memberdayakan umat (Yohanes Huijbrechts) calon guru itu diangkat jadi ‘guru iman’, pemimpin rombongan guru2 yg bernama CSA. Bahasa sekarang: memberdayakan potensi Yohanes Huijbrechts dan teman-temannya.
Dalam
bahasa sekarang, ciri-ciri di atas sering disebut dengan istilah entrepreneurship: punya mimpi, punya visi ke depan, punya keyakinan pribadi, penuh inovasi
dan kreasi, penuh semangat, berani ambil resiko. Dan hasilnya memberi nilai
tambah pada sesama dan dunianya. Itulah yang dibuat pater Hellemons, pendiri
CSA.
Kontemplasi, kini dan nanti
Ketika
para bruder CSA masuk Indonesia tentu paling mudah adalah membawa buah-buah
kontemplasi asli pendiri kongregasi ke Indonesia. Pada jaman itu, bentuk dan
model karya misinya masih dapat dijalankan dengan buah yang memuaskan. Namun,
setiap jaman punya panggilannya sendiri. Artinya supaya buah-buah kontemplasi
sungguh bermanfaat, kontemplasi harus senantiasa diperbaharui, alias dilakukan
terus-menerus. Singkatnya, untuk jaman ini pun kontemplasi itu harus dilakukan
lagi dan lagi.
Secara
sederhana kontemplasi dapat dijelaskan demikian. Comtemplasi, adalah metode doa, yang dalam Latihan Rohani St
Ignatius Loyola, disebut sebagai cara berdoa paling tinggi. Berkontemplasi
berarti menempatkan diri ‘di samping’ Tuhan. Dalam doa itu ia menempatkan diri
di samping Tuhan, hadir di sana, merasakan, memikirkan, memandang dunia, ‘bersama Tuhan’ melakukannya.
Kira-kira Tuhan akan melakukan apa untuk masa kini dan nanti, ketika melihat
bentangan dan tantangan dunia karya di depan kita? Sesuai dengan ini, berarti
para bruder CSA harus berkontemplasi untuk menemukan panggilan Tuhan di jaman
ini. Secara reflektif para bruder harus bertanya, adakah karya-karya yang
sekarang masih dan sedang ditangani oleh kongregasi CSA masih merupakan jawaban
atas panggilanNya. Secara proyektif, para bruder harus berkontemplasi untuk
menemukan vision ke depan nanti. Apa proyeksi karya yang diyakini menjawb
panggilanNya mengingat keadaan jaman dan dunia kini dan nanti?
Berlayar ke tempat yang lebih ‘dalam’
Tahun ini kongregasi Bruder CSA memperingati 150 tahun berkarya di
Indonesia. Tema yang diangkat adalah berlayar ke tempat yang lebih dalam. Tema
ini bagi saya mengandung konotasi bahwa tidak berlayar untuk mencari nyaman,
tetapi justru siap menantang dunia. Sebab laut yang lebih dalam, kecuali
menjanjikan (perolehan tangkapan) ikan-ikan besar, juga membawa konsekuensi
bahaya dan resiko yang lebih besar pula. Pertanyaannya adalah seberapa besar
kesiapan para bruder dalam mengarungi perjalanan karya yang lebih ‘dalam’ ini?
Dalam bahasa awam, jawaban atas pertanyaan ini menuntut suatu kontemplasi
mendalam dari seluruh kongregasi. Kontemplasi yang menyangkut beberapa hal
berikut:
Perubahan mindset.
Kalau kita biasa berlayar di laut dangkal dan kita
memutuskan untuk berlayar di laut dalam, mindset kita harus berubah. Gelombang
besar dapat saja membalikkan kapal kita. Ikan besar dapat menyeret kail kita,
tanpa dapat kita kendalikan. Perubahan alat atau sarana kita gunakan adalah sine
qua non, mutlak perlu. Dalam melayari laut yang lebih dalam, tak
mungkin kita hanya mengandalkan kekuatan alam semata. Kemampuan nahkoda dalam
mengendalikan kemudi juga berbeda. Pendeknya, persepsi kita tentang diri kita
maupun medan karya kita juga harus berubah. Lebih dari itu, mindset kita harus
diubah. Itu artinya,
kita mesti melakukan kontemplasi lagi. Kita berdoa bersama Tuhan, dan bertanya,
kira-kira apa yang dipikirkan, dirasakan dan akan dilakukanNya di medan karya
kita kini dan nanti, saat ‘lautan menjadi lebih dalam’ menjadi kenyataan? Dalam hal ini kita bisa belajar dari Pater
Hellemons ketika dulu memutuskan untuk mengirim 4 orang misionarisnya ke negeri
kita Indonesia.
Pandangan dunia.
Persepsi kita tentang dunia pun juga harus diubah. Dunia
modern menawarkan banyak pilihan, dan janji kenyamanan. Bagaimana kita, para
bruder CSA mau bersikap di tengah dunia sekarang ini. Pater Hellemons justru
melawan arus dunia saat itu. Dunia yang
penuh Yansenisme, dilawannya dengan gerakan dari dalam hati dan budi para muda
waktu itu. Artinya bagi kita: mari
kita berkontemplasi.
Seandainya saya boleh berkontemplasi
bersama kongregasi CSA, maka dunia dan panggilan CSA di jaman ini akan terlihat seperti berikut ini:
Dunia kita adalah dunia pasar bebas. Dunia yang ditentukan oleh kebutuhan
pasar. Segala sesuatu, termasuk hidup manusia ditentukan oleh kebutuhan pasar.
Orang tanpa sadar mengikuti saja gerak dan arus dunia. Manusia tidak sanggup,
bahkan tidak merasa perlu lagi, untuk punya prinsip sendiri, punya nilai
kemandirian. Demikian sehingga orang mulai bingung dengan karakter khas
manusia. Sebab manusia seakan kehilangan karakternya. Karena itu pula, pendidikan karakter dianggap
sebagai jawab atas kehilangan jati diri manusia. Padahal sebenarnya ini bukan
masalah isi, melainkan masalah cara atau metode pendidikan. Selama sistem pendidikan masih berfokus pada
pendidikan intelektual, maka isinya apa pun hanya akan jatuh pada perkara
normatif dan kognitif belaka. Dunia pendidikan perlu pembaharuan metode dan
sistem. Pembaruan sistem yang partisipatif dan eksperientatif. Untuk ini yang paling cocok adalah melalui
pendidikan entrepreneuship. Kalau ini tak menggantikan, minimal melengkapi
sistem yang ada sekarang ini.
Khusus di Indonesia, dunia yang lebih menantang dan mengundang ternyata
letaknya ada di bagian timur negeri ini. Maka kalau para bruder CSA mau
berkontemplasi, yang paling tepat adalah mengkontemplasikan dunia di Indonesia
timur, NTT misalnya. Dalam pandangan saya, bumi NTT sesungguhnya subur, tetapi
relatif masih nganggur. Masyarakatnya masih belum mampu mengolah kesuburan
tanah. Akibatnya mereka kini tergantung
pada hasil bumi dari luar NTT. Daripada
mengolah bumi negeri sendiri, lebih baik pergi ke luar NTT, bahkan ke luar
negeri buat mengejar ringgit atau duit.
Fokus pilihan: orang muda.
Dari awal berdirinya, kontemplasi pendiri dan para mengikutnya, membuahkan
fokus pilihan karya pada orang muda. Orang muda yang waktu itu jadi kurban
situasi perang. Perang antara negara ataupun perang antar keyakinan agama.
Orang muda mengalami kemerosotan moral dan iman. Itulah yang melahirkan karya
pendidikan asrama orang muda. Di jaman ini, orang muda masih tetap jadi kurban.
Kurban atas kemajuan jaman dan kemunduran nilai kemanusiaan. Di NTT, bahkan
pendidikan orang muda pun masih sungguh memprihatinkan. Di Gereja pun pelayanan
dan pendampingan pada kaum muda masih terhenti pada konsep formal dan normatif
belaka. Ada begitu banyak orang muda yang dibiarkan saja hidup tanpa
pendampingan, kadang tanpa tujuan.
Menggerakan
perubahan dunia, paling mudah adalah melalui orang-orang muda. Mereka masih
punya idealisme tinggi. Energi mereka besar. Mereka punya nafsu belajar tinggi.
Di sini lain, selama ini kebanyakan orang muda, menjadi kurban cinta dari kaum
tua. Mereka biasanya ditempatkan sebagai penonton, bukan partisipan. Malah ada
yang hanya jadi obyek dan kurang diperlakukan sebagai subyek.
Orang
muda sekarang juga telah terhipnotis pada tawaran dunia yang hedonistis.
Akibatnya,
mereka kurang sadar akan panggilan jamannya. Dengan pendidikan entrepreneur,
diharapkan orang-orang muda dapat membaharui dunia dan memberi nilai tambah
pada tata kehidupan manusia. Tambahan pula, di NTT, tingkat pendidikan pada
umumnya masih belum maju.
Jalur pendidikan formal, terutama di Jawa sebenarnya sudah relatif dapat
diandalkan. Tetapi yang terkandung
dengan pendidikan formal adalah pendidikan satu dimensi: dimensi intelektual.
Itu pun dalam prakteknya berarti menghafal, bukan mengerti dan memahaminya.
Dimensi finansial yang menentukan sebagian besar kehidupan manusia justru belum
disentuh sama sekali. Kalau ada jalur
pendidikan nonformal, itu pun masih sangat terbatas. Jadi, dalam kontemplasi
jaman ini jelas kiranya kalau panggilan atau undangan karya CSA itu tetap fokus
pada kaum muda. Itupun bukan lewat jalur pendidikan formal, melainkan melalui
jalur pendidikan nonformal. Di sana dimensi finansial dapat diangkat dan digarap
melalui pendidikan semangat entrepreneurship. Dilihat dari segi kemendesakan,
di wilayah Indonesia bagian Timur, kebutuhan akan hadir dan peran serta para
Bruder CSA kok terasa lebih jelas. Sebab yang peduli pada orang muda di sana boleh dikata tidak banyak. Kalau pun ada
lebih menyiapkan orang muda untuk menjadi ‘pegawai’ kalau bukan ‘buruh’ para
pemodal di luar NTT. Jarang, atau malah mungkin belum ada yang menyiapkan orang muda
menjadi ‘majikan’ pemilik pegawai. Di sinilah perlunya orang muda digembleng
dengan semangat entrepreneurship.
Metode asrama
Kalau dulu pater Hellemons mengembangkan bentuk pelayanan kaum muda
bergerak dari « sekolah Minggu » ke « asrama », dan
akhirnya ke « sekolah dan asrama » kita di Indonesia, khususnya NTT
dapat meneladan sikapnya. Artinya bukan meniru begitu saja, sebab
situasi, dunia dan manusianya berbeda. Memiliki sekolah dan asrama adalah
pilihan turunan dari aslinya. Sekarang pilihan itu sebaiknya direfleksi
kembali, kalau tak mau direvisi. Saya cenderung memilih fokus saja pada asrama.
Sebab punya sekolah dan asrama mengandaikan memiliki tenaga berkualitas,
fasilitas yang memadai, dan untuk itu perlu biaya besar. Bukan karena
kekurangan tenaga kalau tak mau memilih jalur sekolah. Tetapi pendidikan
sekolah sudah dikelola dengan baik, bahkan lebih baik oleh dunia. Kalau CSA
tidak punya kelebihan istimewa dalam menangani sekolah sebaiknya fokus di luar
sekolah. Sebab di luar sekolah belum banyak yang peduli. Di luar sekolah belum
dianggap sebagai strategis dalam sistem pendidikan yang ada sekarang ini. Sementara
sistem asrama, jika diseriusi, dapat dijadikan sarana terbaik untuk membentuk
karakter yang siap untuk mandiri. Sebab setelah pendidikan intelektual di ruang
kelas (formal) pembimbing asrama masih punya kesempatan banyak untuk mendidik
orang muda ini dengan pelatihan dan pembentukan karakter yang mendukung
kemandirian orang muda tersebut. Asrama adalah tempat untuk berlatih dan
mengalami sendiri. Asrama tidak hanya memberi tekanan pada kognitif, tetapi
justru dalam internalisasinya. Jika ini yang jadi mimpinya, maka asrama mesti
dipikirkan dan dikelola secara profesional, visioner dan misioner.
Di dalam sistem pendidikan asrama lah orang muda dikenalkan nilai-nilai
kemanusiaan
dan pembentukan karakter entrepreneur yang mengandung
prasyarat : kemandirian. Jika
ini dapat menjadi sumbangan khas para Bruder CSA di Indonesia, maka meskipun
jumlah yang dididik tidak masal, namun peran dan sumbangannya bagi masyarakat
dan Gereja akan sungguh berdampak. Lebih baik kecil tetapi unik, dan memberi
sumbangan khas, daripada ikut-ikutan arus, lantas sumbangannya tak kelihatan
dan kurang bermakna.
Di mana-mana, bruder CSA dikenal sebagai pendidik karakter, melalui sistem
pendikan asramanya. Itulah mimpi yang dapat dimaknai sebgai buah-buah
kontemplasi jaman ini. Dalam situasi dimana mendidikan asrama tak mungkin
diwujudkan, dapat dicari bentuk pendampingan alternatif, non formal, namun
secara karakter berkualitas.
Kalau itu yang dilakukan para bruder CSA Indonesaia jaman ini, maka ciri
konstitutif para bruder CSA menjadi nyata kembali di jaman ini. Jika ini pula
yang merupakan buah-buah kontemplasi kongregasi, maka tak perlu ragu lagi untuk
menfokuskan diri dalam karya asrama ini. Lahan ini masih terbuka lebar, sebab
belum banyak yang melihat dan mengambilnya sebagai sarana bernilai untuk
pembentukan karakter manusia.
Selamat Pesta 150 Tahun Berkarya Di Indonesia !
Dulu
ada St Louis, di Belanda maupun di Indonesia,
Dan
orang muda disapa dan diangkat drajatnya
Kini
ada orang muda, di Jawa maupun di Flores sana
Semua
memanggil-manggil hati dan budimu untuk mereka.
Nanti
ada yang mengalami buah karyamu mengubah hidup mereka
Dan
orang-orang yang sungguh mandiri karena andil darimu
Para
bruder pencinta, pembela dan inspirasi jiwa mudaku.
Semarang,
Pada hari pesta St Matias, Rasul
14 Mei 2012
*) Penulis adalah Direktur Wulangreh Foundation, bertempat tinggal di Banyumanik, Semarang
[1] Joos P.A van Vugt: Bruder-bruder dan
karya mereka, Kanisius 2005, hal 43
[3] Perjumpaan dengan pemuda Johannes ini adalah pemicu lahirnya kongregasi
CSA. Johannes adalah bruder CSA pertama.
[4] Seperti dituliskan oleh Br Heri CSA,
dalam Nilai-nilai Pendiri.
Terima kasih dan berkah dalem Pak Widada
BalasHapusBruder CSA tangguh seperti pendirinya.
BalasHapusMatur Nuwun Pak Widada. Cukup terbuka cakrawala pikiran kami
BalasHapus