Tidak semua tahu bahwa ada Bruder CSA yang menerima penghargaan di tingkat nasional dan masuk dalam artikel koran Jawa Pos, Radar Madiun. Berikut artikelnya:
Bruder Michael, Setengah Abad Mengabdi sebagai Biarawan
Ajarkan Nilai Moral dan Agama melalui Sulap
Oleh DYAH M SARI (dikutip dari artikel dari Radar Madiun, 25 Desember 2013)
Usia senja tak mengendurkan semangat Br. Michael menjadi
pelayan Tuhan. Itu
tidak lepas dari keinginannya sejak masih belia menjadi
sosok yang berguna bagi orang lain. Hingga kini, sudah lebih dari setengah
abad dia menjadi biarawan.
RAMAH, ltulah kesan pertama yang ditunjukkan Bruder
Michael saat menemui Jawa Pos Radar Madiun. Meski jalannya sudah sedikit
tertatih, dia begitu semangat saat menceritakan pengalaman hidupnya menjadi
seorang biarawan. "Ini lagi mempersiapkan Natal. Besok kan
di panti ada acara open house," kata biarawan berusia 79 tahun yang kini
masih aktif mengurusi Panti Asuhan Putra "Santo Aloisius” Bruderan di
Jalan Achmad Yani Kota Madiun itu
Keinginan kuat pria kelahiran Semarang 12 Iuli 1934 itu
menjadi seorang biarawan sudah muncul saat masih remaja. Pada 1955 silam,
Michael bersekolah di Sekolah Teknik Karang Tempel, Semarang. Setiap hari dia
diantar jemput dengan bus sekolah bersama sekelompok anak panti asuhan yang
kebetulan bersekolah yang sama dengannya. Dari situlah timbul rasa empati
Michael kepada mereka. Meski
sudah tak memiliki orang tua dan berasal dari keluarga
tidak mampu, anak-anak panti asuhan itu memiliki tekat kuat untuk bersekolah.
Dia pun mulai berpikir
ingin bekerja yang banyak berkecimpung dalam masalah
sosial. Setamat dari sekolah teknik, Michael muda melamar ke kelompok bruder
CSA (Congregatio
Sancti Aloysi) Semarang. "Akhirnya saya masuk dan
menjalani pendidikan di Madiun ini. Waktu itu 1959," jelasnya.
Selama menjalani pendidikan calon bruder, dia pun
menyelesaikan studi Sekolah Guru Atas (SGA) di asrama Santo Aloisius itu.
Kemudian, pada 1963 Michael bertugas di Surabaya untuk mengajar agama
di beberapa sekolah dasar. Mengisi
waktu luang usai mengajar, dia kerap ke THR. Suatu ketika
dia melihat seorang penjual jamu yang menjajakan dagangannya sambil bermain
sulap. Dari situlah timbul niat Michael untuk berlatih sulap sebagai media pembelajaran
siswanya.
Michael pun belajar sulap pada salah seorang pesulap di
Surabaya. Setelah memiliki cukup keterampilan, di sela mengajar agama ke para
siswanya, dia menyelipkan trik-trik sulap sebagai sarana untuk menyampaikan
pesan religi dan moral. Misalnya, dia memakai topi hitam khas pesulap sebagai
simbol "mahkota” atau
kekuasaan. Kemudian, saat topi dilepas dan dipakai
kembali di dalamnya muncul bola besi yang mengenai kepalanya. ”Maksudnya biar
anak-anak paham. Kalau
menjadi penguasa, harus jujur dan bijaksana. Kalau tidak
jujur, bisa kena batunya," ujarnya.
Perjalanan Michael sebagai bruder sekaligus guru agama terus
dijalani dengan berpindah-pindah kota. Mulai dari Surabaya, Jogja, balik ke
Surabaya, dan berakhir di Madiun pada era 1970-an. Waktu itu, dia kembali
ke tempat yang tempat yang disinggahinya dulu, Panti Asuhan Putra Santo Aloisius
Bruderan Madiun.
Selain mengurusi panti asuhan, dia juga mengajar agama di
SDK Santo Yusuf. Model mengajar dengan media sulap masih terus dilakukannya
hingga pensiun pada 1995 lalu. Khawatir dengan sekolah yang kala itu murid di
kelas yang diajarnya hanya memiliki 23 siswa, Michael tergerak untuk mendirikan
TK Santo Yusuf. Bruder tertua di Indonesia itu berperan sebagai
fasilitator dan melengkapi permainan anak dan media pembelajaran di TK itu.
"Dulu kan pemerintah gencar mendirikan
SD inpres, jadi saya khawatir sekolah kami tidak ada lagi generasinya. Akhirnya
saya dirikan TK. Sampai sekarang sudah banyak anak didik dari Santo Yusuf yang
berprestasi," katanya.
Meski sudah pensiun sebagai guru agama, Michael tetap
aktif dalam kegiatan sosial dan mengabdi sebagai pelayan Tuhan. Dia mengurusi
25 anak panti asuhan
di Santo Aloisius. Meski usianya sudah semakin menua,
Michael masih sigap mengurus masalah rumah tangga di panti itu. Mulai dari mengecek
kebutuhan dapur setiap pagi hingga membimbing mereka untuk dapat memenuhi kebutuhan
hidup anak panti asuhan tersebut, Michael aktif mencari donatur pada para umat
Kristiani yang peduli dengan anak asuhnya. Dia juga
kerap mendatangi perkumpulan doa. Mengisi acara di situ, dia juga menyelipkan permainan
sulap.
Orang-orang senang dengan hiburan yang saya suguhkan. Dari
situ akhirnya mereka banyak mengenal saya. Apa pun saya lakukan asalkan anak-anak
bisa makan," tuturnya.
Dedikasi Michael selama setengah abad menjadi biarawan
yang peduli dengan pendidikan anak tu membuatnya mendapatkan penghargaan
Mutiara Bangsa di tingkat Nasional pada 2010 lalu.
Ini baru CSA yang sejati. 50 th menebar garam. Profisiat !!
BalasHapusBr.Michael figur yang patut kita teladani.
BalasHapusBeliau adalah Guru ku
BalasHapusBeliau masih sehat dan jadi pemerhati panti asuhan di Madiun. Dan akan senang sekali jika ada mantan murid yg kontak dia....
BalasHapusSEMANGAT DAN KETELADANAN YANG PATUT DIHARGAI
BalasHapus