KEINDAHAN DALAM CSA
(Br. Alfonzsh R.
Banase, CSA)
(Tulisan berikut merupakan sebuah refleksi sederhana
menyambut kemandirian CSA di Indonesia)
PROLOG
Dalama Kamus Besara Bahasa Indonesia, kemandirian diartikan dengan hal atau keadaan seseorang dapat berdiri sendiri atau tidak bergantung kepada orang orang lain. Artinya bahwa kemandirian adalah kesiapan dan kemampuan individu untuk berdiri sendiri yang ditandai dengan menentukan nasib sendiri, kreatif, inisiatif, mengatur tingkah laku, bertanggung jawab dan mampu menahan diri.
Merefleksikan kembali perjalanan kemandirian CSA di Indonesia ini bukanlah barang jadi atau sesuatu yang ada dengan sendirinya, tetapi merupakan hasil dari proses yang panjang dengan melewati berbagai persoalan. Bahkan dalam proses perencanaan awal kemandirian saja sudah mengalami penolakan secara halus. Hal ini disampaikan oleh Br. Theo Sponselee dalam kunjungannya ke Indonesia pada tahun 1986 dengan membawa pesan yang hanya sebagai suatu gagasan, tetapi mengakibatkan suatu kehebohan besar. Salah seorang bruder Indonesia menyatakan perasaannya dengan suatu metafora: ‘seekor ayam tidak pernah akan melepaskan anak-anaknya’. Seorang bruder lain menyatakan rasa pahitnya dengan kata-kata: ‘dewan umum Belanda lebih suka melepaskan kekuasaannya atas bruder Indonesia, daripada menjalankan kekuasaan itu bersama bruder Indonesia’. Tentu ini hanya persoalan awal yang diikuti banyak persoalan dan kesulitan. Meskipun demikian, tepat pada tanggal 25 Nopember propinsi Indonesia dipisahkan dari kongregasi induk dan diakui sebagai kongregasi diosesan dan otonom: Kongregasi Para Bruder Santo Aloisius Gonzaga, Semarang.
KEINDAHAN CSA
Melihat
perjalan kemandirian CSA Indonesia ini, sebagai generasi muda CSA saya sangat
berbangga kepada para bruder yang sudah berjuang mewujudkan kemandirian itu.
Dalam lika liku perjalanan CSA itu, sebagai generasi muda saya merefleksikan
dan menemukan keindahan yang dimiliki
oleh para bruder CSA pendahulu yang memperjuangkan kemandirian, yang tidak dimiliki oleh orang lain.
Mungkin orang lain memilikinya tetapi belum tentu sama. Jika keindahan ini
benar-benar dihayati dan dihidupi, maka CSA bisa menjadi teladan bagi setiap
orang yang dilayani.
Keindahan itu adalah Persaudaraan, Kasih dan Damai (PKD). PKD ini sudah diwariskan dari para pendahulu (pendiri) yang dihidupi dari masa ke masa bahkan dalam proses mewujudkan dan sampai terwujudnya kemandiriaan CSA di Indonesia.
1.
PKD sebagai Falsafah dan visi CSA
Kekhasan CSA itu adalah PKD. Mungkin selama ini banyak hal yang sudah dibuat dalam hidup PKD seturut konstitusi atau domuken. Namun, saya mencoba melihat PKD sebagai falsafah, bukan pernyataan tentang apa yang sudah dicapai (Kemandirian). Sebaliknya, PKD adalah visi yang menunjukkan apa yang belum dicapai dan sesungguhnya merupakan tujuan yang indah yang ingin kita capai agar CSA menjadi lebih baik. 22 tahun telah kita lewati. Kiranya hari raya kemandrian ini merupakan moment yang tepat untuk para bruder supaya melihat dan mendalami kembali PKD. Apa yang perlu diubah? Apa yang harus dibarui ke depan? Artinya yang perlu dilihat dan dibarui itu PKD kedepannya. Bukan berarti melupkan yang sudah berlalu (sejarah) tetapi kiranya baik sejarah itu menjadi tolak ukur dan pembelajaran kedepannya. Life must be lived forwards, but can only be understood backwards- hidup harus dihayati dengan melangkah kedepan, tetapi hanya dapat dipahami dengan menoleh ke belakang” (Soren Kierkegoard). Memang untuk mengetahui masa lampau karena masa lampau membantu kita memahami di mana kita sekarang ini. Juga berarti untuk membuat rencana masa depan karena rencana itu membantu kita memutuskan apa yang harus dikerjakan sekarang ini. Tetapi, satu-satu hal yang secara aktual ada adalah di sini dan kini.
2.
PKD sebagai karakter CSA
Setiap pribadi dalam CSA begitu berbeda dan unik satu dengan yang lainnya.
Perbedaan dan keunikan masing-masing yang bersatu dalam satu kesatuan yaitu
CSA, adalah keindahan yang luar biasa. Perbedaan-perbedaan ini bukan menjadi
penyebab untuk setiap pribadi hidup sendiri atau terjadi sukuisme, melainkan
menjadi kekayaan dan cermin karakter persaudaraan para bruder supaya menjadi
komunitas yang solid, kuat, demi satu tujuan yang sama, mengikuti Tuhan sebagai
bruder CSA yang mandiri, bukan CSA yang lemah. Kekuatan karakter ini adalah
setiap bruder menerima semua perbedaan dan keunikan dengan saling menghargai
sebagai ciptaan Tuhan yang unik. Alangkah baiknya karakter ini menjadi lebih kuat
jika dilandasi dengan semangat Nekaf Mese, Ansaof Mese- satu hati,
satu jiwa (bahasa Timor-Dawan). Kita jelas berbeda, dan tidak bisa
disamaratakan begitu saja. Tetapi satu keindahan yang pasti, kita sama-sama
datang dan bersatu untuk menjadi bruder CSA, dan pewarta kabar gembira kepada
kaum muda di tengah zaman yang tidak pasti (unpredicatable
world). Semangat nekaf mese, ansaof mese inilah yang mampu
menjadikan kita sebagai CSA yang berkarakter, CSA yang kuat dan mampu
berlangkah bersama-sama.
3.
PKD sebagai jiwa CSA
Sebagai seorang CSA kita dipanggil untuk saling mengasihi dan bersama-sama memperjuangkan hidup yang damai. Kasih dan damai (Caritas et Pax) merupakan khasanah warisan dari para pendiri, “ajakan terus menerus dari bapak Vincentius untuk “Kasih dan Damai”(Kons. 1..3.2). Kasih dan damai ini sudah menjadi jiwanya para pendiri dan para bruder pendahulu.
Sebagai generasi CSA sekarang ini tentu patut kita
berbangga dengan Kasih dan Damai.
Tetapi apakah ini sudah kita jadikan sebagai jiwa kita? Jangan sampai, jiwa caritas et pax hanyalah sebagai
slogan atau kata-kata indah? Misalnya; tidak ada kasih dan damai dengan sesama
(saling mendiamkan, gosip, sakit hati, iri hati, tidak rela berbagi karena
takut disaingi), masih ada persaudaraan feodal (yunior-senior, kakak-adik,
tua-muda). Jika kita mau jujur dengan diri sendiri dari hal-hal diatas mungkin
pernah kita alami, atau bahkan kita sendiri pernah melakukannya. Bersyukurlah
kalau ada dari kita yang tidak pernah melakukan itu.
Jiwa caritas et pax yang tulus dan bersahaja runtuh pada saat kita terlibat
dalam hal-hal diatas. Inilah kenyataan yang terjadi, kita bangga menjadi
menjadi CSA tapi kita tidak serius menjadi CSA secara serius. Kita tidak
mengasihi sesama saudara dalam komunitas, kita tidak damai dalam komunitas tapi
damai di luar komunitas, kita tidak rela berbagi, takut disaingi, merasa lebih
hebat dan pintar dari yang lain, karena banyak berkarya menganggap rendah yang
lain, tidak ada keseimbangan antara doa dan karya, tidak menghargai karya dan
usaha yang dilakukan oleh sesama bruder, dan yang lebih parah jika kita tidak
menaruh semua pengharapan dan kepercayaan kita kepada Allah. Kita mungkin
mempunyai pembelaan diri. Saya bukan santo! Saya hanyalah manusia biasa! Inilah
caraku! Inilah watakku! Tetapi sadar atau tidak sesungguhnya itu adalah
kekurangan pada watakmu.
Melihat ini, roh atau jiwa caritas et pax perlahan berubah haluan, hanya sebatas kata-kata indah yang diucapkan. Untuk itu, kita perlu menemukan dan menghidupkan kembali jiwa caritas et pax yang bukan hanya sebagai teori. Karena teori tidak akan bermakna tanpa adanya praktek. Mari kita wujudnyatakan jiwa caritas et pax dalam kehidupan kita setiap hari dimana pun berada.
TANTANGAN UNTUK KITA GENERASI MUDA CSA
Jika keindahan diatas benar-benar kita hayati dan hidupi, maka CSA akan semakin kokoh kuat dalam menghadapi arus zaman yang tidak pasti ini (unpredictable world) dan CSA tidak akan pernah lenyap.
Bercermin dari para pendiri yang meski mengalami konflik dan perlakuan kurang bersahabat,
perjuangan terkait pengesahan konstitusi dan pembangunan Institut St. Louis. Begitupun
para bruder pendahulu yang berjuang telah dan melewati berbagai tantangan untuk
kemandirian CSA di Indonesia. Tetapi
mereka tetap menjalani dengan semangat PKD yang berkobar-kobar. Mereka tetap
berjalan bersama, Nekaf Mese, Ansaof
Mese, yang membawa CSA tetap eksis sampai sekarang dan kita masih
menikmatinya. Apakah semangat ini masih kita miliki? Apakah kita mau berjuang
bersama untuk CSA? Inilah waktu kita. Inilah kesempatan kita. Mari kita bersama-sama, Nekaf mese, ansaof mese, membangun CSA
yang lebih baik lagi kedepannya. Kita rawat khasanah warisan dari pendiri (PKD)
; “Hendakknya para bruder mempertahankan sebagai khasanah warisan yang
berharga apa yang dihayati oleh para pendiri dan bruder-bruder pertama.TERMASUK
KHASANAH WARISAN ITU: Ajakan terus menerus dari bapak Vincentius untuk “Kasih dan Damai” (Kons. 1.3). Kita
tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, satu-satunya jalan ke depan adalah
bersama, bergandeng tangan bantu-membantu dan tempat untuk memulai semua itu
adalah diri sendiri.
Sumber bacaan:
Buku PKD Jilid 1 &2
Nolan, Albert. 2006. Jesus
Today: A Spiritual of Radical Freedom. …. Orbis Books
Pedoman CSA
Konstitusi CSA